Seorang Anak di Mata Ibunya
Zulkarnain sebenarnya merasa risi
karena banyak orang memujinya.Ibunya telah naik haji dan kemudian bergelar
hajah.Ketika itu ia bertugas di sebuah negara tetangga.
Ia pulang setelah kontrak kerjanya selesai.
“Ibu bercerita apa saja kepada orang
tentang naik haji tahun lalu itu?”tanya Zulkarnain suatu sore kepada ibunya.
“Banyak.Banyak sekali.Tentang suka duka
berada di Mekah,Madinah,Mina,dan dalam perjalanan.Tentang orang – orang
Arab,tentang kawan –kawan ibu yang banyak diserang batuk kering dan tentang
pembajakan Masjidil Haram.”
Zulkarnain melepas senyum.Dapat
dibacanya melalui wajah ibunya betapa bangganya orang tua itu.
“Mereka menjabat tanganku bukan karena
pengalaman ibu.Tapi karena bercerita ibu yang lain.Akulah yang membiayai ibu.”
“Kan begitu?Mestinya kau bangga karena
dapat berbuat begitu.”
“Aku sangsi,Bu.”
“Mengapa?”
“Mengapa tidak?Ibu mengatakan akulah
yang membiayai ibu,bukan kami berempat.”
Ibu Zulkarnain tidak dapat menahan
senyumnya.Lama ia menatap Zulkarnain.Dari bola matanya terpancar rasa bangganya
dan kasih sayang.Putraku yang
bungsu,yang dulu paling sering membantah perintahku,Tuhan telah membukakan
hatinya:Sejak ia menikah,kurasa dialah satu – satunya anakku yang pada setiap
penutup suratnya tetap mengatakan:”sembah sujud anakmu.”
depan.Sementara itu aku
mengabaikan kehadiran ketiga abangnya yang juga sangat mengasihiku.Aku tidak
pernah membayangkan,puteraku ini,yang dulu begitu keras dalam segala hal,kini
telah menjadi anak yang lembut dan manis.
“Ibu memang selalu menyebut
namamu,setiap kali orang bertanya tentang naik haji itu.Tapi,bukan berarti ibu
tidak menyebutkan nama abang – abangmu.Barangkali orang yang lupa kepada
mereka,karena kaulah puteraku yang paling kecil yang dulu dikenal nakal dan
suka melawan.”
Zulkarnain memprotes dalam
diam.Ia percaya pada cerita ibunya.Namun
kasih sayang yang berlebih terasa berat untuk dipikulnya.
“Ibu bertekad menunaikan rukun haji
itu setelah melihat gambar –gambarmu dan istrimu,ketika kalian melakukan
umroh.Selama ini niat untuk ke sana selalu tersimpan.Ibu tahu,keluarga kita
bukanlah keluarga yang mampu.Tapi setelah melihat gambar – gambar yang kau tunjukkan itu,niat
ibu menyala menjadi tekad.Ibu memang tidak mengatakannya kepada
siapapun.Ternyata hatimu tajam.Kau bisa membacanya dengan bailk.Kau bilang,mata
ibu berair setiap kali melihat gambar – gambar kalian ketika umroh itu.
Zulkarnain merasa semua kata –
kata telah melumpuhkan protesnya.
“Salahkah ibu kalau kemudian terlalu sering menyebut namamu?Tidak,Ibu tahu
betu,kalau sekiranya ketiga abangmu tidak bersedia memberangkatkan ibu dengan
alasan sudah terlalu tua dan sering sakit,kau pasti berusaha untuk mengirimkan
ibu dengan biayamu sendiri.Ibu tahu betul,Nak.Ibu kenal betul dengan sifatmu.”
Protes itu buyar dan rasa sejuk
terasa mengelus Zulkarnain.”Pada ibu kau bercerita:Hampir seluruh dunia sudah
kau jalani.Semua kota besar telah kau singgahi.New
York,Paris,Wangsington,London,Tokyo,Kairo.Tapi semua itu menjadi tiada artinya
sama sekali ketika kau bersembahyang didepan Kabah.”
“Ketika kau memasuki Masjidil
Haram,pengetahuan dan pengalaman yang kau anggap telah banyak,menjadi tidak penting,Ibu bangga
sekali.Tidak pernah ibu sebangga itu.”
Zulkarnain mengangguk,Ternyata
akulah orang yang menjadi pusat perhatian selama ini,pikirnya.Akulah kambing
hitam dalam keluarga.Kegembiraan itu beralasan.Seorang anak yang selau mencoba
melompat dari pagar keagamaan yang kuat di dalam keluarga.Seorang anak yang
kembali masuk ke dalam pagar yang telah diterobosnya itu karena kesadarannya
sendiri.
Ia kembali bukan karena suatu
peristiwa penting yang bernama cobaan.Bukan karena kepahitan
hidup,penderitaan,ancaman,atau kegetiran.Ia kembali begitu saja.Seakan – akan
ada suatu petunjuk.Di sanalah tempatnya yang paling sejuk untuk
berlindung.Tuhan bisa berbuat apa saja,tanpa suatu sebab dan akibat yang paling berkaitan,pikir Zulkarnain.
Zulkarnain dan ibunya saling menatap.
“Masih ada yang ingin kau
tanyakan?”
“Betul almarhum ayah menginginkan
saya menjadi mubalig?”
“Ya,”suara ibunya lirih.
“Kalau begitu tentunya Ibu kecewa karena saya hanya
menjadi seorang pedagang.”
“Jalan yang kau tempuh masih
akan panjang,kalau diizinkan Tuhan.Kita tidak tahu apa yang akan terjadi
besok.Kalau Tuhan menghendaki,semua bisa terjadi diluar dugaan.”
Zulkarnain tersenyum.Tidak
pernah terpikir olehnya untuk menjadi seorang mubalig.Tapi siapa tahu,pikirnya.
Ibunya juga membaca
pikiran itu.
“Siapa tahu,”,katanya
menatap putranya yang khusus datang menemuinya dirumah salah seorang anaknya itu.Ibu tua yang
tinggal berpindah – pindah dari rumah anak yang satu kerumah anak yang lain itu
hari ini merayakan ulang tahunnya ke 75 tahun.Hanya Zulkarnain yang mengingat
tanggal lahir ibunya itu.
8 komentar:
sip mbx
sip2
siph
siph mb bro
sipppppppppppppppp
menarik,,
bagusssss
Posting Komentar